Politik
Ini dua penyebab golput versi KPU
Haris Kurniawan
Kamis, 14 Maret 2013 − 14:27 WIB
Komisioner KPU Sigit Pamungkas (Dok Okezone)
Komisioner KPU Sigit Pamungkas menguraikan, faktor pertama ialah masalah administratif. Dia menerangkan, hal ini terkait pendataan pemilih yang berujung pada tidak terdaftarnya seseorang menjadi peserta pemilu.
"Golput ini masih tinggi ada dua yang menyebabkan hal ini terjadi dan harus diuraikan satu persatu, pertama dimensi administratif, yakni terkait dengan pendataan pemilih dalam Pemilu," kata Sigit di sela-sela acara sosialisasi dapil dan alokasi kursi di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2013).
Penyebab lain tingginya golput, menurut dia, karena dimensi politik pemilih. Hal ini terkait dinamika politik yang terjadi di partai maupun individu yang ikut serta sebagai peserta Pemilu.
"Kedua adalah politik pemilih itu sendiri. Bagaimana politik tercurah pada aktor-aktor politik yang bertarung," terangnya.
Dia melanjutkan, politik pemilih ini sangat berpengaruh karena bersinggungan secara langsung dengan kepercayaan masyarakat sebagai pemilih.
"Yah dari dinamika, mereka (pemilih) tentu melihat apa yang terjadi dengan partai atau orang-orang individu kan bersangkutan dengan kepercayaan," tukasnya.
sumber: http://nasional.sindonews.com/read/2013/03/14/12/727174/ini-dua-penyebab-golput-versi-kpu
Pecundang dan Politisasi Golput
OPINI | 12 March 2013 | 08:17pertama, masalah administrasi. Permasalahan administasi berhubungan langsung dengan persoalan belum mapannya administasi kependudukan di Indonesia. Begitu banyak orang yang tidak tercatat dalam catatan sipil, atau malah sebaliknya ada banyak orang dengan nama yang sama tercata berkali-kali di tempat yang berbeda. Persoalan ini coba di urai oleh Mentri dalam negeri (Gamawan Fauzi) dengan meluncurkan program nasional e-KTP untuk menghapus NIK (nomor induk kependudukan) ganda sekaligus penghapusan pengunaan KTP ganda dan merapikan sistem administrasi kependudukan. Namun ini masih dalam tahapan proses pelaksanaan.
Persoalan admistrasi kependudukan berdampak pada basis data KPU sebagai penyelenggara pemilu. Data pemilih yang diajukan pemerintah (DP4) selanjutnya diperivikasi oleh KPU secara otomatis juga akan bermasalah. Kondisi ini membuat banyak orang tidak daftar dalam daftar pemilih sehingga tidak akan mendapat surat undangan untuk memilih, dan lebih celaka lagi ada yang sudah terdaftar sebagai pemilih malah juga tak dapat undangan.
Disisi lain persoalan admistrasi juga ‘memaksa’ orang untuk tidak memilih, dimana faktor domisili menjadi penghalang seperti pekerjaan dan pendidikan yang menyebabkan orang berada diluar daerahnya. Kedua persoalan ini sebenarnya ada solusi dari KPU dengan surat keteranga dari daerah asalnya, namun ini cendrung di abaikan.
kedua, pilihan politik individu. Pilihan individu untuk tidak memilih dalam pemilihan umum adalah sikap yang tidak berdiri sendiri, ada banyak faktor dan penyebab seseorang tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor tersebu diantaranya adalah ;
*pilihan yang terbatas, sehingga pemilih merasa tidak sesuai dan tidak terwakili dengan keterbatasan pilihan yang ada
*kekecewaan Pemilih terhadap prilaku kandidat dan atau partai politik yang selalu mengingkari janji
*keterbatasan informasi yang diterima oleh pemilih
*penggiringan opini oleh media dan kelompok tertentu
*sikap apatis dari pemilih itu sendiri.
Dari uraian diatas Golput dapat dikategorikan menjadi: seseorang/individu yang;
*tidak terdaftar sebagai pemilih
*terdaftar tapi tak dapat undangan
*terdaftar, dapat undangan tapi berada di daerah lain
*terdaftar, dapat undangan tapi tak mau memilih.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Golput adalah pilihan yang sebarannya sangat beragam dengan berbagai macam faktor penyebab seseorang/individu pada akhirnya ‘tidak Bisa’ dan atau ‘tidak Mau’ memilih. Tidak BISA dan tidak MAU adalah dua hal yang sangat berbeda. ‘Tidak Bisa’ memilih adalah kesalahan administarsi dari pemerintah dan penyelenggara pemilu, sehingga amat sangat keliru jika pada posisi ini Golput dimasukkan kedalam kategori umum yang beranggapan bahwa mereka berada diluar pilihan-pilihan yag ada, karena padadasarnya mereka belum dapat dipastikan tidak punya pilihan terhadap pilihan yang ada dan kesalahan berada diluar individu itu sendiri.
‘Tidak Mau’ memilih kerena pilihan individu berhubungan langsung dengan sikap individu yang sangat bersifat subjektif terkait pilihannya terhadap alternatif pilihan yang ada.
Pilihan ini patut dihargai dan dihormati sebagai sebuah sikap,namun pilihan untuk ‘tidak Mau’ memilih adalah diluar sistem dan inilah yang sesungguhnya yang masuk kedalam kategori tidak berpartisipasi secara ‘murni’.
Namun sungguh aneh penomena Golput selalu dilihat dari persentasenya yang tinggi saja, kita sebenarnya miris dengan penomena ini. Tapi kita juga harus memilahat pengkategorian Golput ini, Golput tak semata sikap a-polik dari masyarakat namun sisi kesalahan administrasi juga mesti menjadi bahan evaluasi.
Akan tetapi ada sebagian kalangan yang justru memanfaatkan penomena Golput ini untuk komoditas politik sebagai alat memuluskan jalan kepentingan dan menyerang lawan politiknya. Para pengamat dan media pendukungnya terus melakukan propaganda yang bertujuan mendeligitimasi kemenangan seorang kandidat dengan membandingkan persentase perolehan suara pemenag dengan persentase Golput dengan mengesampingkan pertanyaan ‘kenapa orang Golput..?’.Kita ambil contoh, Pilkada Jawa barat yang dimenangkan pasangan Aher-Dedi mizwar hanya mampu meraih suara di dikisaran angka 32,39%. Jika suara pemenang ini diperbandingkan dengan suara Golput sebesar 36,3 %, maka dari angka ini kemudian banyak orang menyimpulkan bahwa Golputlah yang keluar sebagai pemenang.
Memposisikan suara pemenang berhadap-hadapan dengan suara Golput adalah tindakan yang naif, apalagi jika ini dilakukan oleh lawan-lawan politik dari pemenang karena ini adalah pengalihan perhatian atas kekalahan yang menimpanya. Tindakan membandingkan suara pemenang dengan Golput adalah tindakan yang tidak fair, karena persaingan atu kompetisi yang berlangsung sesungunya bukan antara pemenang dengan Golput melaikan mereka sesama kandidat. Namun jika ingin mengukur tingkat legitimasi atas Pilkada yang berlangsung akan lebih adil jika angka pembandingnya diambil dari jumlah yang berpartisipasi berbanding dengan jumlah yang tidak berpartisipasi/Golput. Maka untuk kasus pada Pilkada Jawa barat kita akan memperoleh angka partisipasi 63,7% berbadingan angka Golput sebesar 36,3%.
Penggiringan opini yang menganggap Golput sebagai pemenang dalam Pilkada adalah upaya busuk yang menyesatkan, sunggug sayang para pengamat _yang sebagiannya ilmuan_ justru larut dan terseret kedalam pusaran kepentingan politik yang sengaja memberi panggung pada pengamat untuk memberi analisis dan komentar yang solah ilmiah namun seirama tanpa ada pencerahan sedikitpun. Dimanakah akal sehat dan kecerdasan mereka…?, dimanakah beban moral mereka untuk memberi ’sediki’ pencerahan dan pencerdasan..?
Sekali lagi penulis ingin menekankan bahwa adanya pernyataan yang menganggap Golput adalah pemenang Pilkada merupakan sikap para ‘PECUNDANG’ yang tidak bisa menerima kekalahan.
sumber::http://politik.kompasiana.com/2013/03/12/pecundang-dan-politisasi-golput-536218.html