Alasan Jokowi Berani Naikkan
Harga BBM
TEMPO.CO, Kendari - Rencana pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak ditolak sejumlah elemen masyarakat, termasuk
di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Meski demikian, Presiden Joko Widodo
menganggap itu menjadi satu risiko yang harus dihadapinya.
Hal itu tidak menyurutkan langkah
Jokowi untuk tetap menaikkan harga BBM. Bahkan Jokowi mengaku tidak takut
dibenci ataupun tidak terkenal gara-gara menaikkan harga BBM. "Saya jadi
presiden bukan untuk dikenal, tapi untuk bekerja demi kepentingan masyarakat,"
ujar Jokowi di sela kunjungannya ke Kendari, Kamis malam, 6 November 2014.
Pada Kamis siang, sejumlah elemen
mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil di Kota Kendari,
Sulawesi Tenggara, berunjuk rasa menolak kedatangan Presiden Joko Widodo,
Kamis, 6 November 2014. Mereka menentang rencana pemerintah menaikkan harga
BBM.
Jokowi mengungkapkan, selama lima
tahun terakhir, pembangunan infrastruktur dan kesehatan sangat minim akibat
uang negara lebih banyak dipakai untuk subsidi BBM. Karena itu, menaikkan harga
BBM dan mengurangi dana subsidi akan lebih bermanfaat karena dana yang ada bisa
dialihkan untuk kepentingan pembangunan lainnya yang memiliki nilai manfaat yang
lebih tinggi bagi masyarakat.
Jokowi bersama sejumlah menteri dari Kabinet Kerja berkunjung ke Kendari pada Kamis sore. Kunjungan Jokowi hanya sekitar tiga jam. Jokowi meninjau pelabuhan perikanan Samudra yang ada di Kelurahan Talia serta membuka Musyawarah Nasional Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama).
Jokowi bersama sejumlah menteri dari Kabinet Kerja berkunjung ke Kendari pada Kamis sore. Kunjungan Jokowi hanya sekitar tiga jam. Jokowi meninjau pelabuhan perikanan Samudra yang ada di Kelurahan Talia serta membuka Musyawarah Nasional Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama).
5 Alasan Kenapa Harga BBM Harus Naik
Sekretaris Jendral Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), M. Romahurmuziy angkat bicara soal rencana
pemerintah yang akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBB) bersama dengan
pemberian sejumlah kompensasi.
Meski kenaikan harga BBM adalah keputusan politik-ekonomi, Rommy berpendapat setidaknya ada lima alasan yang rasional mengapa BBM bersubsidi harus dirasionalisir naik, dengan atau tanpa kompensasi.
"Harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per liter terlalu murah, jauh berbeda dengan harga BBM industri yang mencapai Rp 9.300 per liter," kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (4/6/2013).
Harga BBM Indonesia, kata Rommy, termurah di kawasan ASEAN. Menurut Rommy, bandingkan harga Rp 4.500 di Indonesia untuk Ron 90, misalnya dengan Vietnam untuk Ron 92, yang mencapai Rp 15.553, di Laos Rp 13.396, di Kamboja Rp 13.298, di Myanmar Rp 10.340.
"Bahkan harga BBM bersubsidi Indonesia adalah yang termurah di dunia untuk ukuran negara net importer," kata Rommy.
Murahnya harga BBM telah merangsang penyelundupan, baik kepada sektor industri atau pertambangan, maupun penyelundupan ke luar negeri.
Sebagai bukti nyata, lanjut dia, adanya dugaan penimbunan atau penyelundupan BBM oleh seorang oknum polisi di Papua, "Jika seorang oknum AIPTU saja demikian, bukankah besar kemungkinan banyak lagi oknum lainnya," imbuhnya.
Bukti lain, lanjut Rommy, kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan DPR bersama pemerintah setiap tahunnya selalu terlampaui, yang berarti pertumbuhan tingkat konsumsi BBM bersubsidi selalu melampaui prediksi pertumbuhan konsumsi berdasarkan jumlah kendaraan.
"Disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan dimana-mana," tegas Rommy.
Harga BBM fosil yang murah, kata Rommy, menghambat munculnya energi alternatif, seperti bahan bakar nabati, baik berbasis etanol maupun CPO. "Tidak bisa bersaing," tegasnya.
Bahan bakar alternatif seperti gas, menurut dia, tidak berkesempatan tumbuh karena harganya relatif dekat dengan BBM bersubsidi.
Sejak awal dekade 2000, Rommy menjelaskan bahwa Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Hal itu dibuktikan dengan importasi BBM dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, sehingga harga BBM nasional sangat bergantung kepada harga internasional.
"Publik perlu diberikan pemahaman bahwa perlu pergeseran paradigma dlm meletakkan Indonesia dari eksportir menjadi importir," ujar dia.
Akibat impor BBM yang terus naik, menurut Rommy, berimbas pada defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran.
"Subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan pasal 7 ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang menyebutkan subsidi disediakan untuk kelompok masyarakat tidak mampu," papar dia.
Kenyataannya, lanjut Rommy, subsidi BBM dinikmati lebih 70% oleh kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi. Sehingga pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi yang salah sasaran itu.
"Seperlima APBN kita tersedot untuk subsidi energi yg bersifat konsumtif," tegas Rommy.
Ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang, kata Rommy, menjadi terbatas. Akibatnya daya saing yang tercipta di pasar internasional semu, didominasi oleh produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah. "Padahal murahnya harga energi karena disubsidi," kata dia.
Dengan sejumlah alasan tersebut, menurut Rommy, rasionalisasi kenaikan harga BBM bersubsidi adalah untuk kemaslahatan anak cucu bangsa.
"Meskipun kenaikan harga BBM adalah keputusan politik-ekonomi, jangan persoalan ini dipolitisasi berlebihan, apalagi dijadikan panggung mencari simpati dan dukungan menjelang hajat pemilu lima tahunan," kata dia.
Bagi PPP, menurut Rommy, lebih baik katakan kebenaran itu, meski pahit. Sebab, Rommy menjelaskan bahwa diantara tugas pemimpin politik adalah membangun optimisme dan harapan untuk sebuah arah di masa depan. "Bukan terus mengeksploitasi dan memanipulasi dukungan publik untuk realitas semu yang penuh agumentasi yang menipu," tegasnya.
Meski kenaikan harga BBM adalah keputusan politik-ekonomi, Rommy berpendapat setidaknya ada lima alasan yang rasional mengapa BBM bersubsidi harus dirasionalisir naik, dengan atau tanpa kompensasi.
"Harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per liter terlalu murah, jauh berbeda dengan harga BBM industri yang mencapai Rp 9.300 per liter," kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (4/6/2013).
Harga BBM Indonesia, kata Rommy, termurah di kawasan ASEAN. Menurut Rommy, bandingkan harga Rp 4.500 di Indonesia untuk Ron 90, misalnya dengan Vietnam untuk Ron 92, yang mencapai Rp 15.553, di Laos Rp 13.396, di Kamboja Rp 13.298, di Myanmar Rp 10.340.
"Bahkan harga BBM bersubsidi Indonesia adalah yang termurah di dunia untuk ukuran negara net importer," kata Rommy.
Murahnya harga BBM telah merangsang penyelundupan, baik kepada sektor industri atau pertambangan, maupun penyelundupan ke luar negeri.
Sebagai bukti nyata, lanjut dia, adanya dugaan penimbunan atau penyelundupan BBM oleh seorang oknum polisi di Papua, "Jika seorang oknum AIPTU saja demikian, bukankah besar kemungkinan banyak lagi oknum lainnya," imbuhnya.
Bukti lain, lanjut Rommy, kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan DPR bersama pemerintah setiap tahunnya selalu terlampaui, yang berarti pertumbuhan tingkat konsumsi BBM bersubsidi selalu melampaui prediksi pertumbuhan konsumsi berdasarkan jumlah kendaraan.
"Disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan dimana-mana," tegas Rommy.
Harga BBM fosil yang murah, kata Rommy, menghambat munculnya energi alternatif, seperti bahan bakar nabati, baik berbasis etanol maupun CPO. "Tidak bisa bersaing," tegasnya.
Bahan bakar alternatif seperti gas, menurut dia, tidak berkesempatan tumbuh karena harganya relatif dekat dengan BBM bersubsidi.
Sejak awal dekade 2000, Rommy menjelaskan bahwa Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Hal itu dibuktikan dengan importasi BBM dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, sehingga harga BBM nasional sangat bergantung kepada harga internasional.
"Publik perlu diberikan pemahaman bahwa perlu pergeseran paradigma dlm meletakkan Indonesia dari eksportir menjadi importir," ujar dia.
Akibat impor BBM yang terus naik, menurut Rommy, berimbas pada defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran.
"Subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan pasal 7 ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang menyebutkan subsidi disediakan untuk kelompok masyarakat tidak mampu," papar dia.
Kenyataannya, lanjut Rommy, subsidi BBM dinikmati lebih 70% oleh kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi. Sehingga pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi yang salah sasaran itu.
"Seperlima APBN kita tersedot untuk subsidi energi yg bersifat konsumtif," tegas Rommy.
Ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang, kata Rommy, menjadi terbatas. Akibatnya daya saing yang tercipta di pasar internasional semu, didominasi oleh produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah. "Padahal murahnya harga energi karena disubsidi," kata dia.
Dengan sejumlah alasan tersebut, menurut Rommy, rasionalisasi kenaikan harga BBM bersubsidi adalah untuk kemaslahatan anak cucu bangsa.
"Meskipun kenaikan harga BBM adalah keputusan politik-ekonomi, jangan persoalan ini dipolitisasi berlebihan, apalagi dijadikan panggung mencari simpati dan dukungan menjelang hajat pemilu lima tahunan," kata dia.
Bagi PPP, menurut Rommy, lebih baik katakan kebenaran itu, meski pahit. Sebab, Rommy menjelaskan bahwa diantara tugas pemimpin politik adalah membangun optimisme dan harapan untuk sebuah arah di masa depan. "Bukan terus mengeksploitasi dan memanipulasi dukungan publik untuk realitas semu yang penuh agumentasi yang menipu," tegasnya.
ü Menurut saya kalau bensin naik
menjadi Rp 9.500 maka lebih baik kita mengisi pertmax, kenapa harus pertamax
ini saya sertakan artikel alasan lebih baik menggunakan pertamax.....
Pertamax: Untuk Kita dan Masa Depan
Indonesia yang Lebih Baik
Berbicara mengenai Pertamax, BBM andalan
Pertamina, tidak bisa dilepaskan dari masyarakat pemilik kendaraan bermotor
yang kian hari semakin meningkat kepemilikannya. Walau BI sudah menaikan syarat
jumlah uang muka tetapi tidak menyurutkan animo masyarakat membeli kendaraan
bermotor. Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhkan ekonomi
negara yang stabil serta tingkat inflasi yang rendah dimana roda ekonomi
berjalan positif. Semua itu dapat dilihat dari meningkatnya kelas menengah
Indonesia.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Ekuin
Hatta Rajasa, golongan kelas menengah Indonesia saat ini adalah yang terbesar
di Asia Tenggara. Kelas menengah Indonesia diperkirakan mencapai 56 persen dari
total penduduk Indonesia. Hal ini disampaikan Hatta Rajasa pada forum Gala
Dinner USINDO di The Fairmont Hotel Washington DC. Amerika Serikat September
tahun lalu.
Simak angka penjualan mobil pribadi pada
tahun 2012 yang mampu menembus angka 1 juta unit atau naik sekitar 20 persen
lebih dari tahun 2011. Kenaikan itu sudah cukup menunjukan besarnya daya beli
sebagian masyarakat Indonesia. Kini memiliki sebuah mobil pribadi bukan hal
yang luar biasa.
Tetapi sepertinya meningkatnya kelas menengah
ternyata juga berdampak pada bengkaknya subsidi pemerintah untuk BBM. Perlu
diketahui bahwa pada tahun lalu pemerintah ternyata terpaksa menaikan 156
persen anggaran subsidi bagi premium. Sebagai catatan, 53 persen penikmat BBM
bersubsidi tersebut adalah mobil pribadi. Jelas bahwa subsidi sudah tidak tepat
sasaran. Tetapi fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa antusias pemilik
kendaraan bermotor khususnya roda empat menjadikan pertamax sebagai pilihan
boleh dibilang rendah. Mereka masih memilih untuk menggunakan bahan bakar
bersubsidi yaitu premium. Bukti nyata bisa dilihat di SPBU-SPBU dimana masih
banyak mobil lebih memilih Premium daripada Pertamax.
Mengapa sebagian pemilik kendaraan, khususnya
roda empat, masih enggan beralih ke Pertamax? Jawabannya ialah masih kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap manfaat besar dibalik penggunaan Pertamax.
Disamping itu masyarakat masih menilai bahwa menggunakan Premium lebih ekonomis
dibanding Pertamax. Bukan berarti mereka tidak mampu secara finansial untuk
membeli pertamax. Orang kaya kita masih merasa berhak menikmati BBM bersubsidi
karena mereka merasa bahwa mereka juga membayar pajak pada negara ini. Padahal
pajak memang suatu kewajiban warga negara, sedangkan subsidi hanyalah instrumen
distribusi pendapatan untuk rakyat yang tidak mampu. Hal ini merupakan sebuah
pola pikir yang patut dipertanyakan.
Ada 3 manfaat besar dibalik penggunaan
pertamax, yaitu:
Pertama adalah manfaat bagi kendaraan.
Pertamax sendiri merupakan bahan bakar minyak yang bermutu tinggi. RON (Rating
Octane Number) Pertamax adalah 92. Sedangkan bensin premium mempunyai RON 88.
Perlu diketahui bahwa semakin tinggi RON kinerja mesin akan semakin baik
terutama mesin kendaraan yang sudah menerapkan sistem komputerisasi pada
injeksi bahan bakar.
Pemakaian BBM beroktan tinggi sudah
direkomendasikan oleh produsen mobil sejak awal atau yang biasa dikenal sebagai
OEM (Original Equipment Manufacturer).
Sedikit berbagi pengalaman ketika bekerja di
negera jiran, Brunei dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, terutama di
Brunei, mayoritas keluarga di sana memiliki mobil sebagai kendaraan pribadi.
Sebagai bahan bakar mereka lebih memilih jenis RON 95 atau RON 97. Alasan utama
mereka bukan karena harga yang terjangkau, tetapi mereka menginginkan bahan
bakar yang berkualitas tinggi bagi mobil mereka sesuai dengan rekomendasi
pembuat kendaraan agar perfoma mesin selalu terjaga.
Manfaat besar yang kedua adalah manfaat bagi
alam dan lingkungan. Sesuai dengan program Pertamina bersama Pertamax
mewujudkan langit biru. Sudah saatnya bagi masyarakat pemilik kendaraan sadar
bahwa dengan memilih Pertamax mereka juga peduli terhadap lingkungan. Memang
kita semua tahu bahwa hasil pembakaran dari semua jenis bahan bakar mempunyai
dampak buruk terhadap alam terutama udara. Tetapi efek dari gas buang dari BBM
jenis Pertamax adalah yang paling rendah.
Manfaat besar yang terakhir adalah ketika
masyarakat mulai beralih pada Pertamax maka pemerintah dapat mengurangi volume
pengadaan bahan bakar bersubsidi. Masyarakat harus paham negara kita saat ini
pengimpor minyak. Pemberian subsidi sekian rupiah untuk 1 liter premium
sama dengan memberi subsidi kepada produsen minyak tersebut. Dana subsidi
pemerintah bisa dialihkan pada sektor lain seperti sektor pendidikan, ketahanan
pangan, jaring pengaman sosial, kesehatan, dan infrastruktur.
Sebetulnya tidak mudah untuk merubah cara
pandang dan kebiasaan masyarakat dalam memilih bahan bakar bagi kendaraan
mereka. Tapi tidak ada yang mustahil untuk dilakukan demi masa depan Indonesia
yang lebih baik. Di sini saya coba berbagi gagasan agar Pertamax bisa mengambil
hati pengguna kendaraan bermotor khususnya roda empat.
Pemerintah bersama Pertamina harus mempunyai
komitmen yang kuat dalam penggunaan Pertamax. Pemerintah harus memberi contoh
nyata yaitu mewajibkan setiap kendaraan milik pemerintah dan BUMN menggunakan
Pertamax. Bagaimana masyarakat mau mengikuti program pemerintah jika pejabat
dan kendaraan plat merah masih ‘minum’ premium?
Perbanyak iklan tentang manfaat penggunaan
Pertamax. Jika melihat bahwa pada tahun 2012 subsidi BBM bengkak 156,22 persen
dari pagu subsidi BBM dalam APBN-P 2012 sebesar Rp. 137, 4 trilyun. Ini
menunjukan bahwa iklan-iklan di media cetak maupun elektronik tidak efektif.
Pertamina dalam hal ini harus merubah bentuk iklan dengan model persuasif
menjadi deskriptif- edukatif. Bukan sekedar ajakan masyarakat menggunakan
Pertamax semata, tetapi lebih ditekankan pada pemahaman masyarakat terhadap
manfaat-manfaat dari penggunaan Pertamax. Bentuknya bisa seperti iklan layanan
masyarakat.
Berikan visual-visual lewat media televisi
bagaimana emisi gas buang dari kendaraan yang menggunakan BBM ber-oktan rendah
itu berpotensi menjadi polusi bagi udara. Polusi artinya racun. Racun kimia
yang kita hirup akan masuk ke dalam darah lalu menyebabkan berbagai penyakit
dan bisa menyebabkan kecacatan pada janin. Tunjukan pada masyarakat bagaimana
kondisi udara kota Jakarta (misalnya) 50 tahun lagi yang kotor dan pengap
akibat polusi yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor dalam film animasi
3D. Belum lagi pengaruh efek rumah kaca terhadap iklim global.
Himbauan penggunaan Pertamax jangan jadi
jargon kosong dan gerakan setengah hati. Pertamax harus menjadi gaya hidup.
Kalau perlu jadikan Pertamax sebagai kebutuhan. Orang harus merasa bangga
memakai Pertamax, bukan bangga memanfaatkan yang bukan haknya dengan memakai
Premium.
Buatlah sebuah fans page di jejaring sosial
misalnya. Pertamina dan pelanggan Pertamax bisa saling berinteraksi dan berbagi
pengalaman. Harus ada juga reward bagi fans/follower misalnya
pelanggan mengupload struk pembelian lalu diundi. Bagi yang beruntung akan
mendapatkan voucher Pertamax. Lomba-lomba penulisan atau blog yang berkenaan
dengan Pertamax dan lingkungan hidup dapat diadakan sesering mungkin agar
masyarakat ikut belajar memahami produk Pertamina.
Lakukan kampanye off-air sebulan sekali di
kota-kota besar di Indonesia. Rangkul golongan menengah keatas ini untuk
berperan aktif kegiatan Pertamina. Pertamina sendiri perlu memberikan stimulus
lewat perusahan-perusahaan agar pegawai yang memiliki kendaraan roda empat mau
beralih ke Pertamax.
Ide terakhir saya adalah Pertamina harus
menciptakan agen-agen perubahan baru. Ada kata-kata dalam bahasa Inggris ” A
person can make a difference”. Satu orang dapat membuat sebuah
perubahan. Contohnya bagaimana dalam sebuah pemilu atau voting, perbedaan 1
suara dapat membuat perbedaan yang sangat berarti. Sebuah kebijakan politik
dapat berubah hanya karena 1 suara itu. Di sinilah, jika satu orang saja secara
aktif menggunakan Pertamax bukan tidak mungkin kebiasaan ini menular ke satu
atau dua orang lain. Begitu seterusnya, dimana akhirnya sedikit demi sedikit
Pertamax akan semakin diminati masyarakat.
Saya berpendapat jika gagasan tersebut diatas
dapat direalisasikan, maka bukan tidak mungkin Pertamax akan menjadi
‘idola’ baru pemilik kendaraan bermotor. Pertamina itu bukan sekedar cari
untung dengan jualan BBM tapi ikut secara nyata membantu pemerintah melakukan
penghematan anggaran negara. Akan semakin banyak sektor yang akan mendapat
alokasi anggaran terutama sektor-sektor yang berhubungan dengan rakyat kecil.
Ini hal yang luar biasa bukan?
Akhirnya, penggunaan Pertamax secara tidak
langsung akan mewujudkan “Langit Biru” untuk kita dan masa depan Indonesia yang
lebih baik.